Terlebih dahulu kita jabarkan bagaimana aturan dasar dari Asas Nebis In Idem dan Konsep Pra Peradilan
Pasal 1 butir 10 KUHAP berbunyi;
“Preperadilan adalah wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang; 1) Sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian puntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3)Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Ne Bis In Idem dirumuskan di dalam Pasal 76 KUHP sebagai berikut :
a. Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
b. Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal :
1. Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
2.Putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah karena daluwarsa.
Adapun secara definitif Praperadilan adalah suatu proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya melainkan persidangan yang hanya pada proses tatacara penyidikan dan penuntutan bukan terhadap pokok perkaranya. Praperadilan berfungsi untuk menguji dan menilai tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut;
1. Sah atau tidaknya penangkapan
2. Sah atau tidaknya penahanan
3. Sah atau tidaknya penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi
Dan beradasarkan pada Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 21/Puu-XII/2014 memasukan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan ke dalam lingkup praperadilan. Kewenangan pengadilan mengadili tuntutan ini dapat diajukan terdakwa, keluarga,kuasa hukumnya kepada ketua pengadilan negeri. Sidang praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal Pemeriksaan dilakukan secara cepat keputusan praperadilan bersifat final
Nebis in idem sering disebut juga exceptie van gewijsde zaak yang berarti bahwa sebuah perkara dengan obyek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.[1]
Awal istilah nebis in idem hanya dikenal di bidang pidana, namun istilah tersebut telah sering digunakan juga dalam bidang perdata berdasarkan ketentuan pasal 1917 KUHperdata. Inti dari ketentuan Pasal tersebut;
1. Suatu putusan hakim yang telah memperoleh keuatan hukum tetap daya kekuatan dri mengikatnya terbatas sekedar mengenai substansi putusan itu;
2. Gugatan (tuntutan) yang diajukan dengan dalil (dasar hukum yang sama dan diajukan oleh terhadap dan pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, maka dalam gugatan tersebut melekat unsur nebis in idem;
3. Oleh karena itu gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima
Syarat Ne bis In Idem dalam Pasal 1917 KUHperdata. Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif apabila salah satu diantara syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak melekat Nebis in idem (M.Yahya Harahat, 2011:441-448)
1. Apa yang digugat sudah pernah diperkarakan sebelumnya
2. Terhadap perkara terdahulu, telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
3. Putusan bersifat positif, yakni apabila pertimbangan dan diktum putusan telah menentukan dengan pasti status hubungan hukum tertentu mengenai hal objek yang disegketakan bisa dalam bentuk; Menolak gugatan seluruhnya atau Mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagaian.
Apabila ditinjau dari Pasal 76, maka asas Ne Bis In Idem mempunyai 3 syarat, yaitu :[2]
1. Orang yang dituntut harus orang yang sama Jika tentang sesuatu perbuatan telah diberi keputusan Hakim yang tidak boleh diubah lagi terhadap A, maka Pasal 76 tidak berlaku terhadap B tentang perbuatan yang sia-sia itu juga. Misalnya A dan B sama-sama mencuri. Si A terlebih dahulu ditangkap dan diadili. Bila kemudian si B tertangkap pula, ia tidak dapat menghindar dari tuntutan jika dikaitkan dengan pasal 76 ini.
2. Melakukan suatu perbuatan Arti perbuatan yang sama dari asas ne bis in idem, ialah harus juga diartikan sama dalam hal temponya (waktu) dan tempatnya perbuatan dilakukan.
3. Telah dijatuhi keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai perbuatan yang sama.
Tujuan penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap diri terdakwa agar tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali pada peristiwa dan perkara pidana yang sama dan yang sebelumnya telah pernah diputus dan juga menghindari agar pemerintah tidak secara berulang-ulang memeriksa perkara yang telah pernah diperiksa sebelumnya yang pada akhirnya menimbulkan beberapa putusan yang berbeda-beda.
Bentuk Putusan dalam Perkara Ne Bis In Idem Jika dilihat dari segi obyeknya, putusan hakim dalam perkara pidana dapat dibedakan menjadi 2 macam, yakni :
1. Putusan terhadap dan mengenai prosesdur acara, jadi isinya putusan tidak atau belum menyangkut pokok perkara atau apa yang menjadi dakwaan
2. Putusan terhadap dan mengenai pokok perkaranya, atau yang mengenai tindak pidana yang menjadi dakwaan
Menururt ICJR, Praperadilan sejatinya merupakan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus persoalan yang berhubungan dengan kewenangan upaya paksa dari aparat penegak hukum, termasuk pula masalah ganti rugi. Praperadilan didesain untuk memberikan perlindungan pada masa “pra persidangan” bagi tersangka atau orang lain yang merasa hak-nya dilanggar oleh kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum.
Karena alasan itu, maka praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara. dilihat dalam KUHAP pasal 82 ayat (1) huruf d yang menyatakan bahwa “dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;”[3]
Pengaturan itu menunjukkan bahwa ada dimensi dan jurisdiksi yang sangat berbeda dari praperadilan yang membedakannya dengan pemeriksaan pokok perkara. Secara langsung praperadilan juga hanya ditujukan untuk memeriksa aspek “formil”. Aspek yang diperiksa terbatas pada konteks sah atau tidaknya suatu upaya paksa dan tidak berhubungan pada pmeriksaan pokok perkara.
Faktor penting lain yang menjadi dasar kenapa tidak ada prinsip nebis in idem dalam praperadilan, karena dalam paperadilan, tersangkalah yang menjadi pihak yang memohonkan dan menuntut. Apabila prinsip nebis in idem dipakai, maka yang harus dilindungi justru posisi dari aparat penegak hukum. Hal ini bertentangan dengan maksud prinsip nebis in idem itu sendiri.
Dalam ketentuan ini, KUHAP justru membuka ruang agar tersangka tetap dapat mengajukan permohonan praperadilan baru di tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum meskipun sudah ada putusan praperadilan pada tingkat penyidikan. Ini menunjukkan bahwa pengaturan KUHAP terkait praperadilan, khususnya pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP menyatakan bahwa “Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan yang baru.” Maka pasal ini tidak menganut prinsip nebis in idem. Catatan di atas menunjukkan bahwa nebis in idem hanya berlaku dalam tahapan pemeriksaan pokok perkara di persidangan dan tidak berlaku dalam konteks pemeriksaan praperadilan yang secara aturan memang tidak memeiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara.
Maka dalam suatu perkara bisa terjadi dua kali atau lebih permintaan pemeriksaan praperadilan misal pertama tentang sah atau tidaknya penangkapan, kedua sah atau tidaknya penahanan dengan objek yang dimintakan pemeriksaan berbeda, yang menggugurkan hak pemohon apabila perkara yang bersangkutan telah disidangkan di pengadilan negeri.[4] Namun hal ini tidak berlaku pada sebagian putusan atas pengajuan Praperadilan lebih dari satu kali terhada objek yang sama sebagaimana dalam beberapa putusan pengadilan yang menyatakan suatu perkara praperadilan sebagai Ne Bis In Idem.
[1] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 439
[2] Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Malang: Setara Press, 2005, hal. 312
[3] Insitute For Criminal Justice Reform, 2017, Menundukan Nebis In Idem dalm Praperadilan di Indonesia, https://icjr.or.id/mendudukkan-nebis-in-idem-dalam-praperadilan-indonesia/ diakses 10 April 2022
[4] S.Wulandari, Kajian tentang Praperadilan Dalam Hukum Pidana, jurnal ilmiah Untag, Vol. 4, No.3, 2015, hlm 12