Smart contract pada awalnya dibuat untuk membuat ringkas proses transaksi agar menjadi lebih mudah, efesien dan fleksibel. Biasanya digunakan untuk transaksi yang terjadi secara virtual seperti transaksi pembelian cryptocurrency, pembiayaan dalam crowdfunding, transaksi e-commerce, pembayaran asuransi, dan lain-lain. Smart contract memiliki beberapa bentuk dengan fungsi serta penerapan yang berbeda yang terbagi atas: basic token contract, crowd sale contract, mintabe contract, refundable contract, dan terminable contract.[1]
Pada dasarnya smart contract merupakan instrumen alternatif untuk memaksa pelaksanaan kontrak dan juga memiliki artian yang berbeda dengan kontrak dalam hukum (legal contract), namun smart contract dapat menjadi sebuah legal contract apabila smart contract tersebut memenuhi persyaratan hukum sebuah kontrak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, karena bentuk smart contract ini merupakan teknologi baru sehingga belum ada regulasi yang spesifik yang mengatur mengenai smart contract tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi
“Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik”.
Kemudian definisi dari Sistem Eelektronik sendiri dijelaskan pada Pasal 1 angka 5 merupakan
“Serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Infomasi Elektronik”.
Berdasarkan definisi yang dijabarkan dalam UU ITE tersebut mengenai kontrak elektronik, maka smart contract dianggap sebagai sebuah “Kontrak Elektronik” untuk menjalankan transaksi elektronik guna mengikat para pihak yang dibuat dalam sistem elektronik.
Mengenai keabsahan dari smart contract ini, pada dasarnya smart contract tersebut merupakan bentuk dari perwujudan asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan BW smart contract atau kontrak elektronik menurut UU ITE dipersamakan sebagai sebuah “perjanjian” yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu sebagai “suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Agar suatu perjajian tersebut sah menurut hukum maka harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: Adanya kesepakatan antara para pihak, kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum, suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian, dan suatu kausa yang halal.
Syarat sahnya sebuah kontrak elektronik dalam transaksi elektronik menurut UU ITE sejalan dengan persyaratan syarat sah nya sebuah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:
“Terdapat kesepakatan para pihak, dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mawakili ssuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat hal tertentu dan objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian ataupun kontrak elektronik, maka dapat disimpulkan bahwa smart contract ini dapat digunakan secara sah di Indonesia sebagai perjanjian yang dilakukan secara elektronik yang bentuknya tersebut sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Perjanjian tersebut sah selama kontrak yang disusun tersebut tidak melanggar atau bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan Undang-Undang, dan juga perlu diperhatikan bahwa tidak semua objek sebuah perjanjian dapat dilakukan dengan mekanisme kontrak elektronik.
[1] Reggie O’Shields, Smart Contract: Legal Agreements for the Blockchain, (Cambridge University Press 2017), hlm 12