Pemberitaan Kejahatan Oleh Media Massa Tinjauan Terhadap Peradilan Pidana Dalam Kerangka HAM

Penanggulangan kejahatan di masyarakat lazimnya secara operasional dilakukan melalui langkah-langkah, yang tentunya dimulai dari perumusan norma-norma hukum pidana, sampai pada berkembangnya unsur-unsur substantif, struktural, dan kultural masyarakat, dimana sistem hukum pidana itu diberlakukan. Sistem hukum pidana yang berhasil dirumuskan itu selanjutntya secara operasional bekerja lewat suatu sistem yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system).[1]

 

Sistem peradilan pidana yang didalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga koreksi (lembaga pemasyarakatan) yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana yang berupa resosialisasi pelaku tindak pidana, pencegahan kejahatan, dan kesejehateraan sosial.[2]

 

Pada penerapannya (practical criminal policy) secara umum, kebijakan kriminal mendayagunakan sistem peradilan pidana (penal approach) dan keberadaan “criminal legislation”, dalam kerangka kodifikasi termasuk didalamnya, disamping sistem pencegahan tindak pidana tanpa menggunakan pidana (prevention without punishment) dan pendayagunaan media massa untuk mempengaruhi pandangan masyatakat terhadap kejahatan pidana secara positif.[3]

 

Berbicara mengenai media massa, maka seperti yang diketahui bersama, media massa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, apa lagi sejak era reformasi dimana media massa jumlahnya semakin banyak dan media massa mendapat kebebasan dalam melaksanakan pekerjaannya. Kebebasan media massa ini juga didukung oleh perkembangan teknologi yang tentunya mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi dari media massa.

 

Kebebasan media massa dan dukungan dari teknologi tersebut dapat menghadirkan dua kondisi, satu sisi akses informasi yang semakin mudah untuk masyarakat dan demokrasi pun terjamin, namun di sisi lainnya adalah kebebasan yang dimaksud tidak diiringi dengan tanggung jawab, atau dengan kata lain kebebasan yang kebablasan. Kebebasan yang kebablasan atau yang tidak diiringi dengan tanggung jawab inilah yang kemudian dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat sebagai konsumen informasi media. Media massa sebenarnya memiliki salah satu fungsi edukasi, sehingga lewat sajian informasinya media massa harus mampu memberikan konten yang edukatif.

 

Peran media massa ini semakin tegas kepentingannya karena terkait dengan fungsinya sebagai penyambung informasi antara masyarakat dengan para penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan). Karena dalam konteks kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal, media massa merupakan bentuk upaya preventif. Pada beberapa kasus pidana, khususnya kasus pidana yang besar dalam artian menyita perhatian publik cukup banyak, upaya preventif ini masih diragukan efektivitasnya, mengingat media massa tidak menunjukkan upaya atau fungsi preventifnya sebagai bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan, namun justru lewat proses jurnalistiknya menjadi seperti penyidik lewat “investigasinya” akan sumber berita, bahkan tak jarang pula proses pemberitaan media massa seolah mendahului pihak penegak hukum.

 

Seperti yang diketahui bersama bahwa salah satu asas yang dianut dalam sistem peradilan pidana, yaitu “praduga tidak bersalah” (presumption of innocence) dan “proses hukum yang adil” (due process of law). Makna Praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh hukum tetap.[4] Prinsip ini pun merupakan salah satu hak asasi manusia yang di atur dalam DUHAM yang tetap harus dijaga oleh setiap penegak hukum.[5]

 

Pada kenyataannya seringkali prinsip ini nampaknya tidak menjadi pedoman bagi media massa dalam menyajikan pemberitaan kejahatan, demi untuk mengejar rating yang tinggi, maka media massa pun kebablasan dalam menyajikan berita. Hal ini tentu bertentangan dengan keadilan apabila media massa telah menyatakan dan memberi gambaran kepada publik bahwa terdakwa ini bersalah atau dasar fakta-fakta yang dikumpulkan sendiri. Apabila hal ini terjadi, maka telah diabaikan “proses hukum yang adil” (due process of law) dalam sistem peradilan pidana, yang merupakan hak seorang tersangka/terdakwa dalam negara yang berdasarkan hukum, termasuk negara kita sendiri Indonesia.

 

Mengingat salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, yang merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia sebagai negara hukum mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan penegakan hak asasi manusia.

 

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), HAM diartikan sebagai “Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”

 

Manusia diciptakan oleh sang pencipta dilengkapi dengan hak-haknya. Oleh karena itu, hak-hak tersebut melekat pada diri manusia sebagai yang sangat mendasar atau asasi. Hak asasi yang yang sangat fundamental ialah manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. Sebagai manifestasi dari hak asasi yang sangat fundamental adalah hak asas bahwa manusia harus dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan ada kesalahannya atau asas praduga tak bersalah.[6]

 

Pengaturan suatu asas dalam hal ini asas praduga tak bersalah sebagai perwujudan hak asasi manusia, untuk menegakkan dan melindunginya sesuai prinsip negara hukum yang demokratis tentu diperlukan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.

 

Adapun asas praduga tak bersalah sebagaimana yang diatur Pasal 281 ayat (5), dapat kita jumpai didalam peraturan perundang-undangan pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-Undang No. Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan diganti lagi dengan Undang-Undang No.  48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan dimuka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

 

Untuk mempertegas pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia melalui asas praduga tak bersalah sebagaimana yang diatur oleh Pasal 281 ayat (5) UUD 1945, didalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 18 ayat (1), yang berbunyi:

 

“Setiap orang yang ditangkap, ditahan atau dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai peraturan perundang-undangan”.

 

Asas tersebut juga tersirat dalam penjelasan Umum angka 3 (tiga) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) yang menjelaskan bahwa:

 

“Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluruhan harkat dan martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang No.14 Tahun 1970 (yang saat ini telah diubah menjadi Undang-Undang No. 48 Tahun 2009) harus ditegakkan dalam Undang-Undang ini (KUHAP). Asas tersebut salah satunya adalah asas setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka pengadilan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

 

Dengan demikian, bahwa setiap tersangka atau terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan menyatakan kesalahannya hingga keputusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap dan jaminan perlindungan terhadap hak asasinya wajib dipenuhi oleh penegak hukum. Membahas mengenai asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) ini seringkali berbenturan dengan kepentingan media massa dalam menyajikan berita yang berkaitkan dengan kejahatan. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa media massa juga diperlukan masyarakat dalam hal hak atas keterbukaan informasi publik dan kebebasan menyampaikan pendapat. Kebebasan berpendapat dan berkomentar dalam hal ini tentunya kebebasan yang bertanggung jawab, dalam arti tidak melanggar hak-hak orang lain.

 

Masyarakat dalam melaksanakan kemerdekaan menyatakan pendapat, terutama berbentuk kritik yang disampaikan kepada pemerintah (penguasa), diperlukan adanya aturan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam pelaksanaan kemerdekaan itu. Kemerdekaan menyatakan pendapat merupakan hak rakyat dan media merupakan wadah dan sarana bagi masyarakat utuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat ini haruslah dipertahankan dan harus dihindarkan dari tindakan-tindakan yang dapat mengurangi atau meniadakan kemerdekaan tersebut.  Di Indonesia jaminan tersebut termuat dalam Pasal 28 UUD 1945 yan menyatakan bahwa “menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang”.

 

Jaminan terhadap kemerdekaan juga termuat dalam Pasal Deklarasi Umum PBB tentang Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948 yang menyatakan:

 

“setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk meliputi kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.

 

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada Bab II Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Setiap wartawan dalam menjalankan profesinya, mutlak harus mentaati kode etilk jurnalistik yang mengandung nilai-nilai positif.

 

Dipergunakannya asas praduga tak bersalah sebagai pedoman dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik menunjukkan bahwa ada norma dan batasan yang harus diperhatikan oleh setiap insan Pers baik dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi terkait dengan permasalahan hukum yang dihadapi seseorang. Namun kenyataannya, masih ada pemberitaan di media massa yang memuat berita secara berlebihan terhadap kasus-kasus hukum tertentu dan mengandung opini yang bersifat menghakimi serta kesimpulan yang keliru, sehingga berpengaruh terhadap stigma berpikir masyarakat dan proses peradilan yang dihadapi oleh seseorang (tersangka/terdakwa).[7]

 

Penyimpangan terhadap asaa praduga tidak bersalah ini seringkali dihubungkan dengan trial by the press. Trial by the press sebagaimana dikutip dalam Laporan Penelitian Hukum BPHN Tahun 2013 merupakan kegiatan dimana pers bertindak sebagai peradilan mencari bukti-bukti, menganalisa, dan mengkaji sendiri untuk kemudian berakhir dengan memberi putusan. Selanjutnya, secara teori pers dianggap telah melakukan trial by the press, ketika sebuah dugaan perbuatan pidana yang sudah ditangani aparat penyidik, Polisi atau Jaksa (pretrial publicity) sampai masuk ke pengadilan (publicity during trial) degan adanya pemberitaan tersebut, menyebabkan adanya pihak yang tertuduh dan dipojokkan pada posisi yang sulit untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tak berpihak (fair trial). Trial by the press seringkali terjadi pada kasus-kasus hukum tertentu yang mampu menarik perhatian publik seperti kasus korupsi, terorisme, kejahatan HAM, kejahatan terhadap nyawa, dan kejahatan terhadap kesusilaan.

 

Perkembangan teknologi yang semakin pesat berkorelasi dengan media massa. Hal ini dibuktikan dengan semakin cepatnya penerimaan akan peristiwa maupun kejadian yang terjadi pada suatu tempat untuk diketahui oleh setiap orang di berbagai belahan dunia. Cepatnya informasi yang diperoleh membuat masyarakat semakin haus akan berita dan membawa pada pengaruh kepada dunia jurnalistik untuk semakin giat dalam mencari berita agar segera mungkin di sampaikan kepada masyarakat.

 

Media massa seringkali menjadi wadah dari aspirasi masyarakat dalam menanggapi permasalahan hukum. Hal ini penting mengingat adanya kemerdekaan pers dan sekaligus kontrol terhadap penegakan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, dimana pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.  Kata kontrol penegakan hukum tidaklah diartikan sebagai kemerdekaan yang seluas-luasnya dalam menghadapi persoalan penegakan hukum seperti tindakan penghakiman atau bertindak seolah-olah seperti penegak hukum, akan tetapi tentu mengarah pada fungsi pers sebagai wadah aspirasi masyarakat dalam menyimak dan menanggapi persoalan penegakan hukum sehingga dalam pelaksanaan penegakan hukum benar-benar memperhatikan rasa keadilan di masyarakat.

 

Faktanya, informasi yang disajikan oleh media massa tidak jarang menggiring masyarakat membentuk opini bahkan prasangka atau stigma berpikir negatif terhadap orang-orang yang terlibat dalam sebuah kasus hukum. Reaksi masyarakat yang demikian dikarenakan pemberitaan yang terkadang berlebihan dan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, pemberitaan yang disertai komentar atau opini yang menghakimi dan disampaikan dengan gaya bahasa. Hal ini tentu secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi si tersangka/terdakwa maupun penegak hukum khususnya Hakim dalam menjatuhkan putusan (dalam konteks peradilan yang tidak memihak) apabila pemberitaannya sudah mengarah pada kesalahan tersangka/terdakwa.

 

Perlindungan atas hak tersangka/terdakwa dalam kaitannya dengan asas praduga tidak bersalah bukanlah merupakan perlindungan yang berlebihan (over protection) bagi seorang tersangka/terdakwa, akan tetapi lebih menuju adanya peradilan yang berimbang karena dimanapun dan di dalam sistem hukum apapun, kedudukan seorang tersangka/terdakwa lebih lemah dibandingkan dengan penegak hukum.

 

Apabila kita melihat filosofi terbentuknya asas praduga tidak bersalah, bahwasannya asas ini pada dasarnya bertujuan untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum sehingga tersangka/terdakwa dapat memperoleh hak-haknya. Begitu juga dalam praktek pers, asas praduga tidak bersalah yang diadopsi oleh UU Pers bertujuan untuk menghindari kesewenang-wenangan dan penghakiman sehingga tercipta penyampaian informasi yang berimbang dan tidak memihak. Memang sulit mengukur sejauh mana telah terjadi penyimpangan terhadap asas praduga tidak bersalah dalam kaitannya dengan pemberitaan di media massa karena pemahaman terhadap asas tersebut masih menimbulkan banyak penafsiran di kalangan insan pers. Di lain sisi, kemerdekaan pers menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya penyimpangan terhadap asas praduga tidak bersalah ketika kemerdekaan pers diartikan sebagai kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat yang seluas-luasnya. Arti seluas-luasnya inilah terkadang tindakan pers menjadi tidak terkontrol, sehingga memerlukan juga kontrol dari masyarakat.

 

Jika berpijak pda cita-cita hukum acara pidana, yakni menciptakan suatu proses hukum yang menjungjung tinggi rasa keadilan, atau “due process of law”, maka hal ini dapat dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana dalam proses peradilan terhadap terdakwa.[8] Proses peradilan yang adil tidak sekedar penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal. Akan tetapi juga bermakna adanya penghargaan terhadap kemerdekaan seorang warga negara. Meskipun seorang warga negara telah melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi hak-haknya sebagai warga negara tetap harus dijaga dan dihormati.

 


[1] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan II (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2004), hlm. vii.

[2] Ibid.,

[3] Muladi dan Diah Sulistyani, Catatan Empat Dekade Perjuangan Turut Mengawal Terwujudnya KUHP Nasional (Bagian I, 1980-2020) (Semarang: Universitas Semarang Press, 2020), hlm. 9.

[4] Tollib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 23.

[5] Ibid., hlm. 24.

[6] Sumitro, “Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” Lex Et Societatis Vol. VI, no. 1 (2018): 21–28.

[7] Ni Putu Noni Suharyanti, “Perspektif Ham Mengenai Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Kaitannya Dengan Pemberitaan Di Media,” Jurnal Advokasi  5, no. 2 (2015): 123–38.

[8] Rahmat Efendy Al Amin Siregar, “Due Process of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Kaitannya Dengan Perlindungan Ham,” FITRAH:Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman 1, no. 1 (2016): 35.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Facebook

1 Comment

  1. WilliamInvip

    artikel ini sangat membantu dalam memahami hukum dalam era media sosial seperti sekarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *